TINJAUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL TERHADAP PRAKTIK OVERFISHING
Keywords:
Hukum Laut Internasional, Praktik OverfishingAbstract
Negara yang memiiliki potensi sumber daya ikan yang cukup besar yaitu potensi lestari sumber daya ikan laut indonesia sebesar 6,5 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEE Indonesia yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama Indonesia.7 Hal ini tentunya dapat menjadi aset pembangunan Indonesia. Namun sejalan dengan itu, mengelola dan mengamankan wilayah perairan yang demikian besar potensinya tentu juga memiliki tanggung jawab yang besar dan berat. Salah satu kekurangan yang dimiliki oleh kapal penangkap ikan modern adalah, alat penangkap ikan modern yang bersifat massal seringkali menangkap ikan yang bukan merupakan target tangkapan. Sehingga tidak hanya mengancam spesies ikan yang menjadi target tangkapan, namun juga spesien ikan yang bukan target tangkapan. Akibatnya, spesies ikan yang bukan target tangkapan namun tertangkap jaring akan dibuang. Praktik ini biasanya disebut “bycatch”. Menurut James A. Crutchfield, usaha perikanan yang merupakan kegiatan ekonomi tentunya menempatkan motivasi ekonomi menjadi yang paling utama. Meskipun memiliki nilai potensi ekonomi dan sosial yang sangat besar, namun sumber daya perikanan baik di dunia secara umum ataupun Indonesia secara khusus terkena dampak buruk akibat kegiatan eksploitasi yang berlebihan serta mengakibatkan kerusakan lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui pengaturan hokum laut tentang tindakan overfishing, 2) untuk mengetahui penerapan hokum di Indonesia terhadap tindakan overfishing. Adapun hal yang dapat disimpulkan dari tulisan ini adalah Pengaturan Hukum Laut Internasional belum secara komprehensif mengatur praktik overfishing, karena Pasal 51 ayat (1) UNCLOS 1982 hanya menjelaskan bahwa Negara kepulauan harus menghormati perjanjian dalam perairan kepulauan. Adapun syarat dan ketentuan dalam menjalankan hak - hak dan aktivitas tersebut harus berdasarkan permintaan Negara yang berhubungan dan diatur melalui perjanjian bilateral, tanpa menjelaskan karakteristik hak penangkapan tradisional secara detail. Adapun upaya hukum hukum yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap nelayan tradisional adalah dengan membuat perjanjian bilateral dengan Negara yang bersangkutan, seperti misalnya Memorandum of Understanding (MoU) antara RI - Australia, Perjanjian 1982 antara RI -Malaysia, dan Perjanjian Garis Batas antara RI - Papua Nugini. Sayangnya Perjanjian bilateral antar negara tersebut belum dapat memberikan perlindungan hukum secara memadai oleh karena masih banyaknya konflik yang terjadi.